Kota Aceh punya sejarah yang panjang dan kaya. Banda Aceh didirikan pada tahun 1205 oleh Sultan Johan Syah dengan nama awal Kuta Raja. Kota ini sudah berusia lebih dari 800 tahun dan punya peran penting dalam penyebaran Islam ke seluruh Nusantara.
Aceh terletak di ujung barat Pulau Sumatra. Posisinya yang strategis membuat Aceh jadi pintu masuk berbagai pengaruh budaya, agama, dan perdagangan sejak dulu.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara muncul di tanah Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Asal Usul dan Prasejarah Kota Aceh
Jejak peradaban di Kota Aceh sudah ada sejak permukiman prasejarah. Kota ini berkembang jadi pusat kerajaan maritim di kemudian hari.
Sebelum Islam, pengaruh Hindu-Buddha sudah membentuk fondasi budaya Aceh. Tradisi dan sistem sosial banyak dipengaruhi era tersebut.
Jejak Permukiman Prasejarah di Aceh
Wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kota Aceh sudah dihuni sejak zaman prasejarah. Letaknya di ujung barat Sumatra membuat kawasan ini terbuka untuk berbagai pengaruh budaya dan perdagangan.
Bandar Aceh punya sejarah panjang sebagai cikal-bakal peradaban Aceh. Kawasan Gampong Pande jadi salah satu lokasi yang membuktikan adanya permukiman awal.
Bukti arkeologis menunjukkan aktivitas manusia prasejarah di sini. Permukiman awal tumbuh di sepanjang pantai dan sungai, memudahkan akses ke jalur perdagangan maritim.
Asal Nama dan Evolusi Kota Aceh
Nama Aceh mulai digunakan secara resmi pada tahun 1496 Masehi. Nama ini dipilih untuk menamai kerajaan Islam di ujung Sumatra.
Sebelum memakai nama Aceh, wilayah ini dikenal sebagai Lamuri, Al Ramni, atau Rami. Nama-nama itu merujuk pada kerajaan yang berdiri sebelum era Kesultanan Aceh Darussalam.
Perubahan nama dari Lamuri ke Aceh menandai pergeseran politik dan budaya. Transformasi ini juga mencerminkan peralihan dari pengaruh Hindu-Buddha ke era Islam.
Pengaruh Hindu dan Buddha Awal
Sebelum Islam datang, Aceh sudah jadi pusat kerajaan Hindu-Buddha. Kesultanan Aceh Darussalam berdiri di atas sisa-sisa kerajaan tersebut.
Struktur sosial dan arsitektur awal banyak dipengaruhi Hindu-Buddha. Sistem pemerintahan dan perdagangan juga punya akar dari tradisi itu.
Transisi ke Islam terjadi bertahap. Banyak unsur budaya lokal yang akhirnya berpadu dengan kedua tradisi keagamaan itu, membentuk karakter khas sejarah Kota Aceh.
Masa Kejayaan Kerajaan Islam di Aceh
Kejayaan kerajaan Islam di Aceh bermula dari kesultanan awal seperti Peurelak dan Samudra Pasai. Kedua kerajaan ini jadi pusat perdagangan dan penyebaran Islam.
Puncak kejayaan datang pada masa Sultan Iskandar Muda. Ia memperluas wilayah dan memperkuat posisi Aceh sebagai kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara.
Kesultanan Peurelak dan Samudra Pasai
Kesultanan Peurelak berdiri pada abad ke-9 dan jadi kerajaan Islam pertama di Nusantara. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdurrahman mendirikan kerajaan ini di pantai timur Aceh.
Samudra Pasai muncul kemudian sebagai kekuatan Islam yang lebih besar pada abad ke-13. Sultan Malikussaleh memimpin kerajaan ini dan menjadikannya pelabuhan penting di jalur perdagangan Asia.
Kedua kesultanan punya peran vital dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Mereka membuka jalan masuknya Islam ke wilayah Melayu dan Nusantara.
Letaknya di Selat Malaka memberi keuntungan ekonomi yang besar. Pedagang Muslim dari India, Arab, dan Persia singgah di pelabuhan Aceh untuk berdagang.
Berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam
Sultan Ali Mughayat Syah mendirikan Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1496. Ia menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah satu kekuasaan yang terpusat.
Pendirian kesultanan ini terjadi karena munculnya kekuatan Barat di Malaka. Sultan Ali Mughayat Syah membentuk angkatan darat dan laut yang kuat untuk menghadapi ancaman itu.
Ibu kota kesultanan ditetapkan di Kutaraja, yang kini jadi Banda Aceh. Lokasi ini dipilih karena strategis untuk perdagangan internasional.
Dasar-dasar politik luar negeri yang diterapkan antara lain:
- Mencukupi kebutuhan sendiri tanpa ketergantungan pada luar
- Menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
- Waspada terhadap negara Barat
- Menerima bantuan tenaga ahli dari luar
- Menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara
Puncak Kejayaan di Masa Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memimpin dari 1607 hingga 1636 dan membawa Aceh ke masa emasnya. Ia menaklukkan Pahang, sumber timah utama di Asia Tenggara.
Ekspansi wilayah dilakukan ke berbagai daerah secara sistematis. Kerajaan Aceh menguasai sebagian besar pantai barat Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Kekuatan militer Aceh jadi yang terkuat di Asia Tenggara. Armada laut Aceh mampu menyerang Portugis di Malaka dan menguasai jalur perdagangan penting.
Bidang-bidang kemajuan pada masa Sultan Iskandar Muda:
- Perdagangan: Aceh menjadi pusat perdagangan internasional
- Militer: Memiliki armada laut terkuat di Asia Tenggara
- Diplomasi: Menjalin hubungan dengan Turki Usmani dan negara-negara Islam lainnya
- Administrasi: Sistem pemerintahan yang terorganisir dengan baik
Pengaruh Islam sebagai Identitas ‘Serambi Mekkah’
Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah karena perannya sebagai pusat penyebaran Islam di Asia Tenggara. Agama dan budaya Islam berkembang pesat di masyarakat Aceh.
Banyak ulama dan cendekiawan Muslim datang ke Aceh untuk belajar dan mengajar. Kesultanan ini jadi pusat pembelajaran agama Islam yang terkenal sampai ke Timur Tengah.
Arsitektur masjid dan istana di Aceh memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat. Masjid Raya Baiturrahman dan Masjid Indrapuri jadi simbol kejayaan Islam di Aceh.
Tradisi intelektual Islam tumbuh lewat penulisan kitab dan karya sastra. Ulama Aceh menghasilkan karya penting yang memperkaya khazanah Islam Nusantara.
Hukum Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan. Kesultanan Aceh jadi contoh penerapan syariat Islam yang menyeluruh di Asia Tenggara.
Penjajahan dan Perlawanan di Kota Aceh
Sejarah Aceh penuh dengan konflik melawan penjajah Belanda yang berlangsung selama tiga dekade. Pendudukan Jepang juga membawa perubahan besar, dan proses integrasi mengubah struktur pemerintahan tradisional Kesultanan Aceh.
Perang Aceh Melawan Belanda
Perang Aceh pecah pada 26 Maret 1873 saat Belanda menyatakan perang melawan Sultan Aceh. Jenderal J.H.R. Kohler memimpin serangan perdana ke Kutaraja, ibu kota Kesultanan Aceh—sekarang Banda Aceh.
Konflik ini berlangsung selama 31 tahun hingga 8 Februari 1904. Pasukan Aceh di bawah Sultan Mahmud Syah melawan dengan gigih menghadapi invasi Belanda.
Faktor pemicu utama perang:
- Pembukaan Terusan Suez membuat Aceh jadi wilayah strategis
- Belanda melanggar Perjanjian London 1824
- Ambisi Belanda menguasai daerah kaya rempah-rempah
- Perjanjian Siak 1858 merugikan Kesultanan Aceh
Rakyat Aceh memakai taktik gerilya di pedalaman untuk menghadapi keunggulan militer Belanda. Perang ini dikenal masyarakat Aceh sebagai Perang Sabil, menandakan semangat jihad melawan penjajahan.
Pada 1877, pasukan Aceh menyerang kota-kota pantai. Belanda mencoba mendorong pusat kekuasaan Aceh ke pedalaman seperti Gayo.
Gempa bumi menyebabkan pergantian kepemimpinan di Aceh dan memperlambat ekspansi Belanda untuk sementara waktu.
Dampak Masa Pendudukan Jepang
Pendudukan Jepang di Aceh dimulai tahun 1942 setelah Belanda menyerah dalam Perang Dunia II. Jepang langsung mengubah sistem administrasi kota Aceh dan mengganti struktur kolonial Belanda.
Perubahan utama masa pendudukan:
- Sistem residensi Belanda dihapus
- Administrasi militer Jepang dibentuk
- Romusha atau mobilisasi kerja paksa dijalankan
- Perdagangan internasional dibatasi
Jepang menggandeng ulama dan tokoh agama untuk mencari dukungan rakyat. Mereka memberi ruang lebih luas bagi praktik agama dibanding masa kolonial Belanda.
Kondisi ekonomi Aceh memburuk parah akibat eksploitasi sumber daya untuk perang. Distribusi pangan kacau, makanan pun jadi langka di banyak wilayah.
Integrasi Aceh dalam Hindia Belanda
Setelah kalah dalam Perang Aceh, Belanda mengintegrasikan wilayah Kesultanan Aceh ke sistem Hindia Belanda. Proses ini benar-benar mengubah struktur pemerintahan tradisional Aceh.
Belanda menerapkan sistem pemerintahan langsung. Mereka menghapus otoritas Sultan dan menggantikannya dengan resident Belanda.
Kutaraja berubah jadi pusat administrasi kolonial. Birokrasi diatur penuh oleh pemerintah Hindia Belanda.
Transformasi sistem pemerintahan:
- Sistem kesultanan tradisional dihapus
- Residensi Aceh dan dependensi dibentuk
- Hukum kolonial Belanda diterapkan
- Controleur dan assistant resident diangkat
Belanda memperkenalkan sistem pajak kolonial dan monopoli dagang, mengubah ekonomi Aceh. Mereka membangun jalan raya dan pelabuhan baru, semua demi eksploitasi ekonomi.
Masyarakat Aceh mulai mengenal pendidikan Barat dan bahasa Melayu jadi lingua franca. Struktur adat dan agama tetap ada, tapi dalam batas yang diizinkan pemerintah kolonial.
Perkembangan Administrasi dan Budaya Modern
Kota Aceh mengalami perubahan administratif besar-besaran di era modern. Status wilayah dan peran strategisnya di kawasan regional ikut berubah.
Budaya modern Aceh berkembang dengan cara unik—tradisi lama beradaptasi dengan teknologi baru, tapi nilai islami tetap terasa kuat.
Perubahan Status Administratif Kota Aceh
Status administratif Kota Aceh terus berubah mengikuti dinamika pemerintahan Indonesia. Pada masa kolonial, wilayah ini masuk dalam Keresidenan Aceh.
Setelah Indonesia merdeka, Aceh jadi bagian Provinsi Sumatra Utara pada 1950. Status ini bertahan sampai 1956, lalu Aceh mendapat status daerah istimewa.
Perubahan besar terjadi tahun 2001 lewat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Regulasi ini memberi kewenangan lebih luas bagi Aceh untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri.
Tsunami 2004 mempercepat rekonstruksi administratif. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dibentuk dan sistem tata kelola baru yang lebih efisien mulai dijalankan.
Peran Kota Aceh dalam Sumatra Utara
Selama 1950-1956, Kota Aceh jadi bagian penting Provinsi Sumatra Utara. Posisi ini menempatkan Aceh dalam sistem administratif yang lebih besar di Sumatra.
Secara ekonomi, Aceh berperan sebagai pintu gerbang perdagangan antara Sumatra Utara dan Asia Tenggara. Pelabuhan Banda Aceh jadi jalur distribusi komoditas dari dan ke Medan.
Integrasi birokrasi modern terasa lewat hubungan administratif dengan Sumatra Utara. Pengetahuan dan teknologi pemerintahan mengalir lewat pertukaran pegawai dan program pembangunan.
Jejak administratif Sumatra Utara masih tampak dalam birokrasi Aceh hingga sekarang. Sistem kepegawaian dan prosedur administrasi modern di Aceh banyak berakar dari periode tersebut.
Kebudayaan dan Tradisi Masa Kini
Budaya Aceh di era modern terus berkembang. Tradisinya beradaptasi dengan teknologi yang makin canggih.
Seni pertunjukan seperti tari Saman dan tari Ratoh Jaroe nggak hanya tampil di acara adat. Sekarang, kedua tari itu sering hadir di festival seni dan konser musik modern juga.
Globalisasi membawa pengaruh besar pada ekspresi budaya Aceh. Seniman seperti Rafli Kande dan Cut Memey mencoba hal baru dengan menggabungkan alat musik tradisional dan instrumen modern.
Kuliner khas Aceh pun ikut berubah. Mie Aceh dan nasi goreng Aceh nggak cuma ada di warung tradisional, tapi juga bisa ditemukan di restoran modern di kota-kota besar.
Masyarakat Aceh memang menghadapi tantangan berat untuk mempertahankan identitas budaya mereka. Tapi, keterikatan pada adat membuat banyak tradisi masih bertahan sampai sekarang.
Teknologi digital juga membantu pelestarian budaya Aceh. Media sosial dan aplikasi mobile jadi alat promosi seni dan tradisi ke generasi muda, meski kadang terasa agak berbeda dari cara-cara lama.