Kota Ambon memiliki perjalanan sejarah yang panjang selama lima abad, dimulai dari permukiman awal suku Ambon yang berasal dari Pulau Seram hingga berkembang menjadi ibu kota Provinsi Maluku. Sejarah kota ini secara resmi dimulai pada tahun 1575 ketika Portugis membangun Benteng Kota Laha di dataran Honipopu, yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan Kota Ambon.
Kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16 membawa perubahan signifikan bagi wilayah ini. Pembangunan benteng oleh Portugis tidak hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga menarik berbagai kelompok masyarakat untuk bermukim di sekitarnya, membentuk komunitas-komunitas yang dikenal sebagai soa.
Penetapan tanggal lahir Kota Ambon menjadi 7 September 1575 ditetapkan melalui seminar ilmiah pada tahun 1972 yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. Perjalanan kota ini mencakup berbagai periode penting mulai dari era kolonial hingga perkembangan modern sebagai pusat administratif dan budaya di kawasan Indonesia Timur.
Asal Usul dan Nama Kota Ambon
Kota Ambon memiliki sejarah yang berakar dari legenda lokal dan pengaruh kolonial Eropa. Nama kota ini berasal dari kata lokal yang berkaitan dengan fenomena alam, sementara penduduk asli pulau ini berasal dari migrasi suku-suku Maluku kuno.
Legenda Asal Usul Ambon
Pulau Ambon awalnya didiami oleh suku Ambon yang bermigrasi dari Pulau Seram di bagian utara. Migrasi ini terjadi berabad-abad sebelum kedatangan bangsa Eropa ke wilayah Maluku.
Suku Ambon memiliki tradisi lisan yang menceritakan asal usul mereka di pulau ini. Mereka membangun permukiman pertama di lokasi-lokasi strategis yang dekat dengan sumber air dan pantai.
Legenda masyarakat setempat menghubungkan nama pulau dengan karakteristik geografis dan iklim wilayah tersebut. Kondisi alam pulau yang sering diselimuti embun pagi menjadi salah satu ciri khas yang diingat dalam tradisi lisan.
Makna dan Etimologi Nama Ambon
Nama Ambon berasal dari kata “ombong” yang merupakan bentukan lokal dari kata “embun”. Kata ini mencerminkan kondisi alam pulau yang sering diselimuti embun di pagi hari.
Etimologi ini menunjukkan hubungan erat antara nama tempat dengan karakteristik geografis dan iklim setempat. Masyarakat lokal menggunakan fenomena alam sebagai dasar penamaan wilayah mereka.
Transformasi dari kata “embun” menjadi “ombong” kemudian menjadi “Ambon” menunjukkan evolusi bahasa lokal selama berabad-abad. Perubahan ini juga dipengaruhi oleh interaksi dengan berbagai kelompok etnis dan bangsa asing.
Kelompok Masyarakat Awal Ambon
Suku Ambon merupakan penduduk asli pertama yang mendiami pulau ini. Mereka berasal dari migrasi internal dalam kepulauan Maluku, khususnya dari Pulau Seram.
Masyarakat awal ini mengembangkan sistem sosial dan budaya yang khas Maluku. Mereka hidup dari hasil laut, pertanian, dan pengumpulan hasil hutan.
Sebelum kedatangan Portugis pada 1513, komunitas-komunitas lokal telah membentuk struktur sosial yang terorganisir. Mereka memiliki sistem kepemimpinan tradisional dan aturan adat yang mengatur kehidupan bermasyarakat.
Kelompok-kelompok ini juga telah menjalin hubungan perdagangan dengan pulau-pulau lain di Maluku. Sistem perdagangan tradisional ini menjadi dasar bagi perkembangan Ambon sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di kemudian hari.
Periode Sejarah dan Perkembangan Kota Ambon
Kota Ambon mengalami tiga periode utama dalam sejarah perkembangannya yang membentuk karakter kota hingga saat ini. Periode tersebut dimulai dari masa tradisional Suku Ambon, dilanjutkan dengan kedatangan Portugis pada abad ke-16, dan puncaknya pada era dominasi Belanda melalui VOC.
Ambon Sebelum Kolonialisme
Pulau Ambon pada mulanya didiami oleh Suku Ambon yang berasal dari Pulau Seram di sisi utara. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil yang tersebar di berbagai wilayah pulau.
Masyarakat tradisional ini hidup dalam sistem soa atau kelompok masyarakat teritorial. Beberapa soa yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Ambon antara lain Soa Ema, Soa Kilang, dan Soa Silale.
Struktur sosial masyarakat Ambon pra-kolonial sudah mengenal pembagian wilayah administratif sederhana. Kelompok-kelompok seperti Hative, Urimessing, dan desa-desa lainnya memiliki sistem pemerintahan tradisional.
Aktivitas ekonomi masyarakat berpusat pada pertanian, perikanan, dan perdagangan antar pulau. Lokasi strategis Ambon di jalur perdagangan rempah-rempah membuat pulau ini menjadi titik singgah pedagang Nusantara.
Zaman Portugis dan Pendirian Benteng
Kedatangan Portugis pada tahun 1513 menandai dimulainya era kolonial di Ambon. Mereka tertarik dengan potensi rempah-rempah, khususnya cengkeh dan pala yang melimpah di Maluku.
Tahun 1575 menjadi tonggak sejarah dengan pembangunan benteng Portugis di Pantai Honipopu. Benteng ini diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada” atau Benteng Kota Laha.
Pembangunan benteng melibatkan penduduk dari berbagai negeri sekitar:
- Kilang
- Ema
- Soya
- Hutumuri
- Halong
- Hative
- Seilale
- Urimessing
- Batu Merah
Para pekerja benteng kemudian mendirikan perkampungan di sekitar benteng yang disebut “Soa”. Kelompok masyarakat ini berkembang menjadi masyarakat teritorial yang teratur dan menjadi dasar pembentukan Kota Ambon.
Migrasi dari wilayah utara, terutama dari Ternate, semakin memperbesar populasi. Kedatangan pengungsi Portugis akibat kekalahan dari Sultan Baabullah menambah kepadatan penduduk di sekitar benteng.
Era Penjajahan Belanda dan VOC
Belanda mengambil alih kendali Ambon dari Portugis dan menjadikannya pusat perdagangan VOC di Maluku. Sistem monopoli rempah-rempah diterapkan secara ketat untuk mengendalikan produksi dan distribusi.
VOC membangun infrastruktur perdagangan yang lebih sistematis. Benteng-benteng diperkuat dan sistem administrasi kolonial mulai diterapkan di seluruh wilayah Ambon.
Tanggal 7 September 1921 menjadi momen penting ketika masyarakat Kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial. Keputusan Gubernur Jenderal nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524) memberikan representasi dalam Gemeenteraad atau Dewan Kota.
Perjuangan rakyat Indonesia asal Maluku di bawah pimpinan Alexander Yacob Patty membuahkan hasil dengan pemberian hak politik. Momentum ini menandai awal keterlibatan warga Ambon dalam pemerintahan kolonial.
Sistem pemerintahan kolonial Belanda mengubah struktur sosial tradisional. Kota Ambon berkembang menjadi pusat administrasi dan perdagangan yang menghubungkan berbagai wilayah di Maluku.
Ambon di Era Modern dan Kontemporer
Ambon mengalami transformasi signifikan dari masa pendudukan asing hingga menjadi kota modern yang berkembang pesat di Indonesia Timur. Perjalanan kota ini mencakup periode pendudukan Jepang, peran dalam kemerdekaan Indonesia, pertumbuhan sebagai pusat regional, dan adaptasi terhadap perubahan sosial-politik pasca Reformasi.
Masa Pendudukan Jepang dan Inggris
Tentara Jepang mendarat di Ambon pada 1 Januari 1942 setelah berhasil mengalahkan kekuatan Belanda dan sekutunya dalam Pertempuran Ambon. Kota ini menjadi target strategis karena posisinya sebagai markas angkatan laut yang penting di wilayah Indonesia Timur.
Selama pendudukan Jepang, Ambon digunakan sebagai pangkalan udara utama untuk mendukung ekspansi militer Jepang di Pasifik. Warga Ambon mengalami penderitaan berat dengan kondisi kemiskinan dan kelaparan yang merajalela akibat dampak perang.
Sebelum era Jepang, Ambon pernah berada di bawah kendali Britania Raya dari 17 Februari 1796 hingga 1803. Laksamana Pieter Ramier berhasil memaksa VOC menyerah dan mengambil alih kekuasaan di kota ini.
Peninggalan masa pendudukan masih dapat ditemukan hingga kini. Pemakaman Perang Ambon menjadi saksi bisu perjuangan tentara Sekutu yang gugur dalam pertempuran melawan Jepang.
Peran Ambon dalam Proklamasi Kemerdekaan
Masyarakat Ambon memainkan peran penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia melalui berbagai perjuangan melawan penjajah. Pada 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon berhasil memperoleh hak yang sama dengan pemerintah kolonial Belanda.
Pencapaian ini merupakan wujud nyata perjuangan rakyat Indonesia asal Maluku dalam menentang sistem kolonial. Keberhasilan ini memberikan modal penting bagi masyarakat kota untuk berperan dalam menentukan masa depan mereka sendiri.
Benteng Victoria menjadi saksi berbagai peristiwa bersejarah, termasuk tempat digantungnya Pattimura pada 16 Desember 1817. Pahlawan Nasional Slamet Rijadi juga gugur di benteng ini dalam pertempuran melawan Republik Maluku Selatan.
Pertumbuhan Kota dan Isu Sosial
Ambon resmi menjadi kota pada tahun 1926 dengan pembentukan Jabatan Wali Kota Ambon. Sebelumnya, wilayah ini berada langsung di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal.
Sejak memiliki pemerintahan sendiri, Ambon berkembang pesat menjadi salah satu kota terbesar dan termaju di Indonesia Timur. Kota ini mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dengan berbagai sektor pembangunan.
Namun, Ambon juga menghadapi tantangan serius berupa konflik sosial. Kerusuhan Ambon 1999 menjadi tragedi terbesar yang melibatkan unsur SARA, terutama agama, meski akar masalahnya adalah politik.
Kerusuhan ini menyebabkan ribuan pengungsi mengungsi ke berbagai daerah, termasuk Jakarta. Dampak kerusuhan meninggalkan luka mendalam dan kenangan pahit bagi masyarakat Ambon.
Transformasi Kota Ambon Setelah Reformasi
Pasca Kerusuhan 1999, Ambon menjalani proses rekonsiliasi melalui Perjanjian Malino. Upaya perdamaian ini berhasil meredakan ketegangan dan memulai proses pemulihan kota.
Sebagai simbol perdamaian, dibangun Gong Perdamaian Dunia di pusat kota. Gong ini merupakan yang ke-35 di dunia dan ke-2 di Indonesia setelah Bali, menjadi pengingat pentingnya persatuan dan toleransi.
Hari jadi Kota Ambon ditetapkan pada 7 September 1575 berdasarkan seminar yang diselenggarakan pada 14-17 November 1972. Penentuan ini mengkombinasikan tahun pembangunan Benteng Kota Laha (1575) dengan tanggal pemberian hak yang sama kepada masyarakat (7 September 1921).
Ambon kini berkembang sebagai pusat budaya dan perdagangan penting di wilayah Maluku. Kota ini terus beradaptasi dengan perubahan zaman sambil mempertahankan identitas budaya yang kaya dan beragam.