Sejarah Kota Solo: Dari Asal Usul hingga Perkembangan Modern

Solo atau Surakarta merupakan salah satu kota bersejarah di Jawa Tengah yang memiliki warisan budaya dan tradisi yang sangat kaya.

Kota ini lahir dari perpindahan pusat Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Desa Sala pada abad ke-18, setelah peristiwa Geger Pecinan yang menghancurkan keraton lama.

Nama Solo sendiri berasal dari Desa Sala yang terletak di tepi Sungai Bengawan Solo, tempat dimana keraton baru didirikan.

Ilustrasi kota Solo dengan Keraton Surakarta, orang memakai pakaian tradisional, pasar tradisional, dan bangunan bersejarah di latar belakang.

Perjalanan sejarah Kota Solo tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik dan budaya Jawa pada masa lampau.

Berbagai peristiwa penting telah membentuk karakter kota ini, mulai dari konflik internal kerajaan hingga perjanjian yang membagi wilayah Mataram.

Kota ini kemudian berkembang menjadi pusat kebudayaan Jawa yang tetap mempertahankan tradisi keraton sambil beradaptasi dengan perubahan zaman.

Asal Usul Kota Solo dan Perkembangannya

Ilustrasi yang menunjukkan asal usul dan perkembangan Kota Solo dengan istana tradisional, orang-orang mengenakan pakaian adat, dan pemandangan kota yang berkembang dari bangunan lama ke modern.

Sejarah Kota Solo dimulai dari perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala pada tahun 1745.

Faktor geografis strategis dan tokoh Ki Gede Sala menjadi elemen kunci dalam transformasi desa kecil menjadi pusat kekuasaan Surakarta.

Perpindahan dari Kartasura ke Desa Sala

Pemberontakan Geger Pecinan tahun 1742 menyebabkan kehancuran Keraton Kartasura.

Peristiwa ini dipicu pembantaian 10.000 orang Tionghoa oleh VOC di Batavia pada Oktober 1740.

Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning memimpin koalisi Jawa-Tionghoa menyerang Keraton Kartasura.

Serangan ini berhasil menguasai keraton dan memaksa Pakubuwono II melarikan diri.

Kerusakan berat pada bangunan keraton membuat Pakubuwono II menunjuk tim pencari lokasi baru.

Tim yang terdiri dari Tumenggung Honggowoso, Adipati Sindurejo, dan beberapa pejabat lainnya melakukan eksplorasi.

Mereka menemukan tiga lokasi potensial: Desa Sala, Desa Kadipolo, dan Desa Sana Sewu.

Setelah perundingan, Desa Sala terpilih sebagai pusat pemerintahan baru.

Pada 17 Februari 1745, kerajaan secara resmi pindah ke Desa Sala.

Perpindahan ini merupakan bedol keraton menyeluruh dengan partisipasi seluruh rakyat.

Peran Ki Gede Sala dalam Cikal Bakal Solo

Ki Gede Sala merupakan tokoh kunci dalam sejarah awal Desa Sala.

Beliau adalah pemimpin lokal yang membuka dan mengembangkan wilayah tersebut.

Nama “Sala” sendiri berasal dari pohon sala yang banyak tumbuh di daerah tersebut.

Pohon sala merupakan jenis tanaman mirip pinus yang menjadi ciri khas kawasan ini.

Ki Gede Sala membangun infrastruktur dasar dan mengatur sistem pemerintahan lokal.

Kepemimpinannya menciptakan fondasi yang solid untuk perkembangan selanjutnya.

Warisan Ki Gede Sala terlihat dalam struktur sosial dan tata ruang Desa Sala.

Sistem yang dibangunnya memudahkan transisi ketika menjadi pusat kerajaan.

Faktor Geografis dan Strategis Pilihan Lokasi

Lokasi Desa Sala memiliki keunggulan geografis yang signifikan.

Posisinya berada di tepi Sungai Bengawan Solo yang menjadi jalur transportasi vital.

Keuntungan strategis lokasi:

  • Akses mudah ke sumber air bersih
  • Jalur perdagangan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur
  • Tanah subur untuk pertanian
  • Posisi defensif yang baik

Sungai Bengawan Solo memiliki peran penting dalam hubungan sosial dan politik.

Jalur sungai ini menghubungkan berbagai wilayah strategis di Pulau Jawa.

Jarak hanya 10 km dari Kartasura memudahkan perpindahan.

Kedekatan ini meminimalkan gangguan administrasi dan pemerintahan.

Aspek magis religius juga menjadi pertimbangan.

Lokasi ini dianggap memiliki nilai spiritual yang mendukung legitimasi kekuasaan.

Transformasi dari Desa Sala ke Surakarta

Pembangunan Keraton Surakarta Hadiningrat dimulai segera setelah perpindahan.

Rakyat bergotong royong mendirikan kompleks keraton tanpa memandang golongan.

Struktur pemerintahan baru dibentuk dengan sistem yang lebih terorganisir.

Pakubuwono II menetapkan tata kelola yang menggabungkan tradisi Mataram dengan kebutuhan modern.

Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama resmi kerajaan baru.

Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “kota yang memberikan kegembiraan.”

Perkembangan infrastruktur berlangsung pesat.

Jalan-jalan utama, pasar, dan pemukiman dibangun mengikuti pola yang terencana.

Transformasi utama:

  • Desa Sala → Pusat kerajaan
  • Sistem tradisional → Administrasi terstruktur
  • Ekonomi agraris → Pusat perdagangan
  • Pemukiman kecil → Kompleks keraton megah

Asal usul nama “Solo” muncul dari kesulitan orang Eropa menyebut “Sala.”

Lidah mereka lebih mudah mengucapkan “Solo” yang akhirnya diadopsi masyarakat luas.

Peristiwa Bersejarah yang Membentuk Kota Solo

Ilustrasi peristiwa bersejarah yang membentuk kota Solo dengan gambaran istana keraton, pasar tradisional, tokoh budaya, dan sungai Solo di latar belakang.

Sejarah Kota Solo terbentuk melalui serangkaian peristiwa dramatis yang mengubah lanskap politik Jawa pada abad ke-18.

Pemberontakan Geger Pecinan, kehancuran Keraton Kartasura, dan pemindahan pusat kekuasaan ke Surakarta menjadi momentum krusial dalam pembentukan identitas kota ini.

Geger Pecinan dan Dampaknya

Geger Pecinan tahun 1740-1743 menjadi titik awal transformasi sejarah Kota Solo.

Pemberontakan ini melibatkan aliansi antara pasukan Jawa dan Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau yang dikenal sebagai Sunan Kuning.

Konflik bermula dari ketegangan antara Kerajaan Mataram dengan pemerintah kolonial Belanda.

Pakubuwono II memutuskan untuk mendukung China dalam melawan dominasi Belanda di wilayahnya.

Pemberontakan ini berhasil menguasai Keraton Kartasura yang merupakan pusat kekuasaan Mataram pada masa itu.

Peristiwa ini menciptakan krisis legitimasi yang mendalam bagi dinasti Mataram.

Dampak utama Geger Pecinan:

  • Keruntuhan sistem pemerintahan di Kartasura
  • Melemahnya otoritas Pakubuwono II
  • Terpecahnya loyalitas bangsawan Jawa
  • Intervensi Belanda yang semakin kuat

Kehancuran dan Pemindahan Keraton

Setelah Geger Pecinan, Kartasura tidak lagi aman sebagai pusat kekuasaan.

Pakubuwono II terpaksa mencari lokasi baru untuk membangun kembali kerajaannya.

Pada tahun 1745, terjadi pemindahan bersejarah dari Kartasura ke Desa Sala di tepi Sungai Bengawan Solo.

Seluruh struktur keraton dibongkar dan diangkut dalam prosesi besar-besaran.

Pemilihan Desa Sala didasarkan pada pertimbangan strategis.

Lokasi ini berada sekitar 10 kilometer dari Kartasura dan menawarkan posisi yang lebih menguntungkan secara geografis.

Proses pemindahan ini melibatkan ribuan pekerja dan memakan waktu berbulan-bulan.

Keraton Surakarta Hadiningrat kemudian didirikan di lokasi baru ini, menandai lahirnya cikal bakal Kota Solo.

Pendudukan dan Kebangkitan Surakarta

Setelah berdirinya Surakarta, Kerajaan Mataram menghadapi perlawanan internal yang hebat.

Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi memimpin pemberontakan yang mengancam stabilitas kerajaan yang baru didirikan.

Konflik berkepanjangan ini berakhir dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Perjanjian ini menghasilkan keputusan bersejarah yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua entitas terpisah.

Hasil Perjanjian Giyanti:

  • Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo
  • Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta

Pembagian ini secara resmi mengakhiri era Kerajaan Mataram yang bersatu.

Surakarta kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan penting di Jawa Tengah.

Transformasi dari Desa Sala menjadi Solo terjadi karena kesulitan orang Eropa dalam melafalkan huruf “a”.

Mereka mengubahnya menjadi “o” sehingga nama Sala berevolusi menjadi Solo yang kita kenal hingga kini.

Perkembangan Kota Solo dari Masa ke Masa

Transformasi Solo dari desa kecil bernama Sala menjadi pusat kebudayaan Jawa mencerminkan perjalanan sejarah yang dinamis selama berabad-abad.

Perkembangan kota ini ditandai oleh perpindahan pusat kekuasaan Mataram, pembentukan dua keraton, perubahan sistem pemerintahan pascakemerdekaan, hingga modernisasi urban yang mempertahankan nilai-nilai tradisional.

Era Mataram Islam dan Kerajaan Surakarta

Tahun 1745 menandai tonggak sejarah penting ketika Sultan Pakubuwono II memindahkan pusat Kerajaan Mataram dari Kartasura ke Desa Sala.

Perpindahan ini dipicu oleh Geger Pecinan tahun 1740 yang menghancurkan kesucian Keraton Kartasura.

Desa Sala dipilih karena statusnya sebagai desa perdikan yang dipimpin Ki Gede Sala.

Desa perdikan tidak dikenakan pajak kerajaan dan memiliki otonomi khusus.

Lokasi strategis di tepi Sungai Bengawan Solo memberikan akses transportasi dan sumber air yang memadai.

Keraton Surakarta Hadiningrat resmi didirikan dengan arsitektur yang mencerminkan kosmologi Jawa.

Pembangunan kompleks keraton mengikuti filosofi mancapat dengan orientasi utara-selatan.

Jalan-jalan utama dirancang melingkari keraton sebagai pusat spiritual dan politik.

Masa ini menandai transformasi Solo dari desa terpencil menjadi ibu kota kerajaan.

Populasi meningkat drastis dengan datangnya bangsawan, pedagang, dan pengrajin dari Kartasura.

Pemisahan Mangkunegaran dan Surakarta

Konflik internal Mataram memuncak pada Perjanjian Salatiga 1757 yang membagi wilayah Surakarta.

Pangeran Sambernyawa, kemudian bergelar Mangkunegoro I, mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di kawasan yang sama dengan Kasunanan.

Pembagian kekuasaan ini menciptakan dua pusat pemerintahan dalam satu kota.

Kasunanan Surakarta menguasai 2/3 wilayah, sedangkan Mangkunegaran mendapat 1/3 bagian.

Kedua istana memiliki sistem administrasi, tentara, dan wilayah kekuasaan terpisah.

Rivalitas konstruktif antara kedua keraton mendorong perkembangan seni dan budaya.

Kompetisi dalam bidang wayang, gamelan, tari, dan sastra menghasilkan inovasi-inovasi artistik.

Keraton Mangkunegaran dikenal lebih terbuka terhadap pengaruh Barat.

Perubahan Politik di Masa Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan 1945 mengubah struktur pemerintahan Solo secara fundamental.

Kedua keraton kehilangan kekuasaan politik formal dan menjadi institusi budaya.

Sistem feodal digantikan pemerintahan republik yang demokratis.

Solo sempat menjadi ibu kota Indonesia sementara selama agresi militer Belanda II (1948-1949).

Presiden Soekarno dan pemerintahan RI memindahkan aktivitas ke kota ini.

Periode ini memperkuat posisi Solo dalam sejarah nasional.

Reformasi agraria mengubah struktur kepemilikan tanah yang sebelumnya dikuasai keraton.

Tanah-tanah perdikan didistribusikan kepada rakyat.

Perubahan ini mengurangi pengaruh ekonomi keraton namun tidak menghilangkan peran kulturalnya.

Masa Orde Baru membawa pembangunan infrastruktur modern.

Jalan-jalan diperlebar, sistem transportasi diperbaiki, dan fasilitas publik ditambah.

Solo bertransformasi dari kota tradisional menjadi pusat administratif yang modern.

Solo Menuju Kota Modern

Era reformasi membuka peluang revitalisasi identitas budaya Solo.

Program pelestarian warisan budaya memperkuat posisi kota sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Keraton-keraton kembali berperan aktif dalam kegiatan sosial-budaya.

Industri batik mengalami kebangkitan dengan pengakuan UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda.

Kampoeng Batik Laweyan dan Kauman berkembang menjadi sentra industri kreatif.

Wisatawan domestik dan internasional berdatangan untuk belajar seni batik.

Revitalisasi kawasan heritage mengubah wajah pusat kota.

Benteng Vastenburg direstorasi, kawasan Pasar Gede diperbaiki, dan jalur pedestrian ditambah.

Program ini mempertahankan karakter historis sambil meningkatkan fungsi urban.

Solo modern menggabungkan tradisi dan modernitas.

Pusat perbelanjaan berdiri berdampingan dengan pasar tradisional.

Teknologi informasi berkembang pesat namun kesenian tradisional tetap lestari.