Sejarah Kota Samarinda: Warisan Budaya, Perdagangan, dan Ekonomi

Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, berdiri sebagai salah satu kota bersejarah paling penting di Indonesia dengan warisan budaya yang kaya dan peran ekonomi yang signifikan.

Kota ini didirikan pada tahun 1668 oleh sekelompok suku Bugis Wajo dari Sulawesi Selatan yang bermigrasi ke tepian Sungai Mahakam, menciptakan pemukiman yang kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan budaya utama di Kalimantan Timur.

Nama “Samarinda” sendiri berasal dari kata “Samarenda” dalam bahasa Bugis yang berarti “sama rata,” mencerminkan prinsip kesetaraan yang dianut komunitas pendirinya.

Pemandangan sungai di Samarinda dengan rumah adat Dayak, pasar tradisional, pedagang, dan bangunan modern di latar belakang yang menunjukkan warisan budaya, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi kota.

Perjalanan sejarah Samarinda mencakup transformasi dari pemukiman sederhana menjadi kota metropolitan modern yang memainkan peran vital dalam perekonomian Indonesia.

Posisi strategisnya di tepi Sungai Mahakam memungkinkan kota ini berkembang sebagai bandar pelabuhan penting bagi Kerajaan Kutai Kartanegara sejak abad ke-18.

Aktivitas perdagangan yang ramai dan status sebagai jalur transit pedagang antarpulau menjadikan Samarinda pusat ekonomi regional yang berpengaruh.

Kota ini menyimpan kekayaan budaya yang beragam, hasil dari perpaduan berbagai suku seperti Bugis, Kutai, Dayak, Banjar, dan Jawa yang telah hidup berdampingan selama berabad-abad.

Warisan budaya ini terlihat dalam berbagai peninggalan sejarah, tradisi, dan festival yang masih dilestarikan hingga kini.

Asal Usul dan Awal Perkembangan Kota Samarinda

Pemandangan kota Samarinda pada masa awal dengan rumah tradisional di tepi sungai, orang-orang sedang berdagang dan melakukan aktivitas sehari-hari di pasar, serta perahu kayu di sungai dikelilingi hutan tropis.

Sejarah Kota Samarinda dimulai dari wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke-13, kemudian berkembang melalui migrasi suku Banjar dan Bugis yang membentuk identitas kultural kota.

Asal usul nama Samarinda memiliki beberapa versi yang berbeda, dengan penelitian terbaru menunjukkan hubungan dengan kondisi geografis yang sama rendah dengan Sungai Mahakam.

Pengaruh Kesultanan Kutai Kartanegara

Kerajaan Kutai Kertanegara berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.

Kerajaan ini merupakan daerah bawahan dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa.

Pusat kerajaan mengalami perpindahan beberapa kali.

Dimulai dari Jahitan Layar, kemudian ke Tepian Batu pada 1635, lalu ke Pemarangan pada 1732, dan terakhir di Tenggarong sejak 1781 hingga 1960.

Pada abad ke-13 sebelum nama Samarinda dikenal, sudah ada enam perkampungan penduduk:

  • Pulau Atas
  • Karangasan (Karang Asam)
  • Karamumus (Karang Mumus)
  • Luah Bakung (Loa Bakung)
  • Sembuyutan (Sambutan)
  • Mangkupelas (Mangkupalas)

Penyebutan kampung-kampung ini tercantum dalam manuskrip Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 1849.

Kedatangan Suku Banjar dan Bugis

Migrasi suku Banjar ke Kalimantan bagian timur terjadi pada 1565 dari Batang Banyu.

Rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser.

Suku Banjar kemudian menyebar ke wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara, termasuk kawasan Samarinda sekarang.

Hal ini terjadi setelah Kerajaan Kutai Kertanegara berada dalam otoritas Kerajaan Banjar pada 1546 M.

Kedatangan suku Bugis Wajo memiliki beberapa versi cerita.

Versi resmi menyebutkan rombongan dipimpin La Mohang Daeng Mangkona tiba pada 21 Januari 1668.

Mereka merantau karena menolak Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah melawan Belanda.

Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan yang dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.

Makna Nama dan Penetapan Hari Jadi Samarinda

Penelitian terbaru oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah Kota Samarinda tahun 2024 menemukan delapan versi asal usul nama Samarinda.

Hasil validasi menyimpulkan nama Samarinda merupakan gabungan kata sama dan randah dari bahasa Banjar.

Versi-versi nama Samarinda:

  1. “Sama-rendah” – merujuk tinggi rumah rakit Bugis Wajo yang seragam
  2. Kondisi geografis – permukaan daratan sama rendah dengan Sungai Mahakam
  3. “Samarendo” – dari bahasa Sanskerta berarti selamat sejahtera
  4. “Samar” dan “indah” – dari bahasa Melayu

Sampai dekade 1980-an, warga masih menyebut kota ini dengan lafal “Samarenda” meskipun penulisan resmi sudah “Samarinda”.

Penetapan hari jadi kota pada 21 Januari 1668 berdasarkan estimasi kedatangan Bugis Wajo.

Tanggal ini ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1988.

Namun penelitian terbaru menemukan narasi ini tidak valid secara historiografi dan merekomendasikan rekonstruksi ulang sejarah hari jadi kota.

Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Samarinda

Pemandangan pelabuhan dan pasar di tepi sungai dengan kapal tradisional dan bangunan kota Samarinda di latar belakang.

Samarinda berkembang menjadi pusat ekonomi Kalimantan Timur melalui pemanfaatan strategis Sungai Mahakam sebagai jalur transportasi utama.

Transformasi bertahap terjadi dari kota perdagangan tradisional menjadi hub industri energi modern.

Peran Sungai Mahakam sebagai Jalur Perdagangan

Sungai Mahakam menjadi tulang punggung perekonomian Samarinda sejak abad ke-18.

Posisi strategis kota ini di tepi sungai memungkinkan berkembangnya aktivitas perdagangan dan transit pedagang antarpulau.

Kerajaan Kutai Kertanegara memanfaatkan Samarinda sebagai bandar pelabuhan utama.

Status ini membawa kemakmuran ekonomi yang signifikan bagi wilayah tersebut.

Karakteristik Masyarakat Pesisir:

  • Kehidupan penduduk terpola sebagai masyarakat sungai
  • Aktivitas ekonomi berpusat di sepanjang tepian Mahakam
  • Perdagangan hasil hutan dan pertanian menjadi komoditas utama

Sungai Mahakam yang membelah kota memberikan julukan “Kota Tepian” bagi Samarinda.

Jalur air ini menghubungkan wilayah hulu dengan hilir, menciptakan jaringan perdagangan yang kompleks.

Perkembangan Sektor Energi dan Industri

Samarinda berkembang menjadi penghasil gas alam terbesar di Indonesia.

Sektor energi ini menjadi salah satu penopang utama industri energi nasional.

Transformasi dari kota perdagangan tradisional ke pusat industri terjadi secara bertahap.

Penemuan dan eksploitasi sumber daya energi mengubah lanskap ekonomi kota secara fundamental.

Sektor Industri Utama:

  • Gas alam: Produksi terbesar di Indonesia
  • Minyak bumi: Eksplorasi dan pengolahan
  • Pertambangan: Batubara dan mineral lainnya
  • Industri pengolahan: Petrokimia dan turunannya

Perkembangan industri energi menarik investasi besar ke Samarinda.

Perusahaan multinasional dan nasional membangun fasilitas produksi dan pengolahan di wilayah ini.

Transformasi Infrastruktur dan Pusat Ekonomi

Samarinda berkembang menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, dan industri di Kalimantan Timur.

Status sebagai ibu kota provinsi mempercepat pembangunan infrastruktur ekonomi.

Pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas transportasi modern mengintegrasikan berbagai wilayah ekonomi.

Sungai Mahakam tetap berperan penting namun dilengkapi infrastruktur darat dan udara.

Infrastruktur Ekonomi Utama:

  • Pelabuhan sungai dan laut
  • Bandara internasional
  • Jaringan jalan trans-Kalimantan
  • Kawasan industri terintegrasi

Pusat perbankan dan keuangan berkembang pesat.

Bank-bank besar membuka cabang untuk melayani sektor industri dan perdagangan yang tumbuh.

Pengaruh Urbanisasi dan Pertumbuhan Penduduk

Pertumbuhan ekonomi menarik migrasi penduduk dari wilayah sekitar ke Samarinda.

Urbanisasi ini menciptakan dinamika baru dalam struktur ekonomi kota.

Sektor jasa berkembang mengikuti pertumbuhan penduduk.

Perdagangan ritel, pendidikan, kesehatan, dan jasa profesional mengalami ekspansi signifikan.

Dampak Urbanisasi:

  • Pertumbuhan sektor konstruksi dan properti
  • Berkembangnya industri makanan dan minuman
  • Peningkatan kebutuhan transportasi publik
  • Ekspansi sektor informal dan UMKM

Pasar tenaga kerja menjadi lebih beragam dengan hadirnya industri modern.

Kebutuhan akan tenaga kerja terampil mendorong perkembangan lembaga pendidikan tinggi dan pelatihan vokasi.

Warisan Budaya dan Peninggalan Sejarah Samarinda

Samarinda menyimpan kekayaan budaya yang berasal dari pertemuan berbagai etnis dan tradisi selama berabad-abad.

Kota ini memiliki peninggalan sejarah berupa bangunan kuno, situs bersejarah, dan tradisi yang masih terpelihara hingga kini.

Keanekaragaman Etnis dan Tradisi Lokal

Samarinda menjadi tempat bertemunya berbagai suku dan budaya sejak masa Kerajaan Kutai.

Etnis Bugis dari Wajo yang dipimpin Lamohang Daeng Mangkona menjadi cikal bakal pembentukan kota ini pada tahun 1668.

Etnis Tionghoa mulai berdatangan pada abad ke-19 dan mendirikan pemukiman di sekitar hilir Sungai Karang Mumus.

Kedatangan mereka menciptakan harmoni budaya yang unik antara tradisi lokal Dayak, Kutai, Bugis, dan Tionghoa.

Tradisi yang masih bertahan meliputi:

  • Upacara adat Kutai Kartanegara
  • Ritual keagamaan komunitas Tionghoa
  • Tradisi pelayaran sungai etnis Bugis
  • Kerajinan tradisional Dayak

Perpaduan budaya ini tercermin dalam arsitektur, kuliner, dan kehidupan sosial masyarakat Samarinda.

Situs Bersejarah dan Bangunan Ikonik

Kawasan Sungai Karang Mumus menjadi pusat peninggalan sejarah Samarinda.

Sepanjang Jalan Pangeran Suriansyah dan Yos Sudarso berdiri rumah-rumah kuno dari papan yang dibangun tahun 1945-1950.

Bangunan bersejarah yang masih bertahan:

  • Klenteng Thien Ie Kong – rumah ibadah komunitas Tionghoa
  • Rumah tinggal bergaya arsitektur Tionghoa
  • Pertokoan tradisional dengan lebar 4-6 meter
  • Bangunan “helan” atau warung kopi tradisional

Kampung Pecinan di kawasan Jalan Yos Sudarso dulunya merupakan pusat ekonomi dan perdagangan.

Area ini menampilkan gaya arsitektur khas Tionghoa yang bercampur dengan bangunan modern.

Museum Samarinda menjadi saksi perjalanan kota dari era pra-kemerdekaan hingga modern.

Museum ini menyimpan koleksi yang menggambarkan transformasi Samarinda selama 355 tahun.

Pentingnya Pelestarian Budaya

Pemerintah Kota Samarinda telah menetapkan sembilan lokasi sebagai cagar budaya.

Upaya pelestarian ini dilakukan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan ganda sebagai warisan dan destinasi wisata.

Program pelestarian mencakup dokumentasi sejarah, pemeliharaan bangunan bersejarah, dan edukasi masyarakat.

Museum Samarinda berperan sebagai pusat pembelajaran dan pelestarian warisan budaya kota.

Tantangan pelestarian muncul dari pembangunan modern yang mengancam bangunan bersejarah.

Beberapa struktur kuno di kawasan Karang Mumus sudah bercampur dengan bangunan komersial baru.

Strategi pelestarian meliputi:

  • Penetapan zona cagar budaya
  • Restorasi bangunan bersejarah
  • Edukasi publik tentang nilai sejarah
  • Pengembangan wisata budaya

Festival dan Tradisi Unik Kota Samarinda

Festival Erau menjadi perayaan budaya terbesar Samarinda yang menampilkan tradisi Kerajaan Kutai Kartanegara.

Festival ini menampilkan tarian tradisional, musik, dan upacara adat yang sudah berlangsung berabad-abad.

Perayaan Tahun Baru Imlek di Kampung Pecinan memamerkan budaya Tionghoa dengan barongsai, lampion, dan kuliner tradisional.

Tradisi ini mencerminkan harmoni antarbudaya dalam masyarakat Samarinda.

Festival Sungai Mahakam merayakan peran sungai dalam sejarah dan budaya kota.

Acara ini menampilkan lomba perahu tradisional dan pameran kerajinan lokal.

Tradisi tahunan lainnya:

  • Belian – ritual penyembuhan tradisional Dayak
  • Upacara Maulud Nabi komunitas Melayu-Bugis
  • Pasar Ramadan dengan kuliner khas Kalimantan
  • Karnaval budaya Hari Jadi Samarinda